KegiatanPembuatan Direktori Perajin Perak Kotagede ini dilaksanakan selama lima bulan mulai bulan Mei 2021 sampai dengan bulan Oktober 2021, Lokasi Pekerjaan Pembuatan Direktori Perajin Perak Kotagede adalah di Kotagede, Yogyakarta dengan rekanan yang ditunjuk adalah PT.

Berbicara mengenai perak di Yogyakarta, kira-kira apa yang terpikirkan oleh Sobat SJ? Yups, sebuah kota lama di wilayah Bantul, Yogyakarta, bernama Kotagede. Sebagai kota klasik dan eks ibu kota Kerajaan Mataram Islam yang berdiri sejak 1532 M, Kotagede dikenal akan peninggalan sejarah, budaya serta pusat ekonomi yang bergerak di bidang kerajinan kriya. Salah satunya adalah kerajinan perak. Tak heran, Kotagede dikenal sebagai Kota Perak’ terbesar di Indonesia hingga saat ini. Di kota ini pun terdapat salah satu tempat pembuatan kerajinan perak terbesar, bahkan sudah dikenal hingga ke mancanegara, yaitu HS Silver Kotagede. Untuk mengetahui mengenai HS Silver Harto Suharjo Silver, beberapa waktu lalu, tepatnya pada Jumat 22/7/2022, berhasil mewawancarai Artin Wuriyani selaku Direktur Bisnis dan Development HS Silver di kantor HS Silver Kotagede, Daerah Istimewa Yogyakarta. Direktur Bisnis dan Development HS Silver, Artin Wuryani. Foto Sururi. Dalam kesempatan ini, kami pun banyak menanyakan beberapa hal, mulai dari sejarah berdirinya perusahaan hingga keberhasilan Harto Suharjo Silver mempertahankan usahanya hingga saat ini dan melewati masa-masa sulit saat awal pandemi Covid-19. Nggak usah panjang lebar lagi, deh, ya? Langsung saja simak obrolan menariknya di bawah ini Pintu masuk HS Silver Kotagede. Foto Sururi. Halo, Mbak Artin. Apa kabar? Mbak, boleh diceritakan sedikit nggak sih, bagaimana awal mula berdirinya HS Silver di Kotagede ini? Baik. Jadi, HS Silver sendiri berdiri sejak tahun 1953 didirikan oleh owner kami, yaitu Ibu dan Bapak Harto Suharjo. Itu kenapa kemudian namanya adalah singkatan dari nama beliau HS Silver Kotagede. Di awal pada saat pertama dibuka ini namanya adalah Toko Terang Bulan, yang tidak hanya berjualan silver, tapi justru tembaga. Kemudian dalam perjalanannya di tahun 1990, ini sudah mulai lebih profesional manajemennya dan sampai pada saat ini ada di generasi dua dan ketiga. Nah, saat ini sudah menjadi perusahaan perseroan terbatas PT, yang dinamakan PT Harto Suharjo Windu Putra Sejahtera. Mengenai karyawannya sendiri, ada berapa orang saat ini, Mbak? Karyawan kita untuk pengrajin saat ini ada sekitar 66 orang, namun demikian kita juga ada pekerja dari luar bekerja di rumah sebagai borongan sekitar 199 orang saat ini. Untuk para pekerja tersebut, apakah hanya dari daerah Kotagede atau dari daerah lain? Saat ini, seperti yang kita ketahui sendiri bahwa Kotagede ini terkenal dengan sejarah historical Mataram Kingdom ya. Di mana Kerajaan Mataram Kuno ini berawal berdiri dari Kotagede. Nah, dulu kenapa para pengrajin perak ada di area tersebut Kotagede, karena mereka itu memberikan upeti kepada raja atau permaisuri di dalam melakukan pembuatan proses jewelry. Nah, itu kemudian yang sampai saat ini kenapa terkenal, pengrajin perak Kotagede itu terkenal teliti, tekun dan sebagainya. Beberapa pengrajin kami memang ada berasal dari Kotagede, karena kami ingin menjadi upaya dari pelestarian budaya dengan merangkul para pengrajin dari area ini. Namun, kita juga ingin sekali mengenalkan kerajinan ini di tempat lain dan seperti yang kita ketahui bahwa pengrajin ini sulit sekali ditemukan sekarang untuk regenerasinya. Sehingga kami mencoba mencari di beberapa lokasi area luar kota Jogja dan kemudian kita latih dan kita lihat secara quality product control sesuai dengan standar kami. Nah, itu kemudian jadi pengrajin dari kami juga. Apakah ada penentuan usia untuk pengrajin di HS Silver? Tidak ada penentuan usia dalam kriteria pengrajin. Secara prinsip kami punya standar quality control yang pasti harus bisa masuk ke standar kami. Karena kami kan juga untuk ekspor. Untuk pendistribusiannya kerajinan dari HS Silver sendiri, ke wilayah mana saja, Mbak? Saat ini, bisnis kami terbagi menjadi dua. Satu adalah retail, yang mungkin teman-teman bisa lihat kami mempunyai toko yang besar di area Kotagede yang sudah sangat dikenal. Dan kedua adalah wholesale, ini adalah pesanan khusus yang mungkin kita bisa membuat customize product dari beberapa korporat, ada juga ekspor custom dari buyer yang ingin memesan kepada kami. Selain itu, untuk retail kami juga ingin me-rebranding kembali HS Silver yang bisa ditemukan di beberapa hotel di area Yogyakarta. Kita juga membuka toko yang berkolaborasi dengan Yogya Pasaraya di area Malioboro. Sebagai salah satu perusahaan atau tempat kerajinan perak terlama dan terbesar di Kotagede, dari HS Silver sendiri melihat industri perak saat ini, bagaimana? Kami percaya dalam pengembangan bisnis ini harus mengikuti dengan tren market ya. Kalau kami melihat sekarang ini tren marketnya tidak shopping only, tapi experience base. Itu kenapa kemudian kami HS Silver menciptakan beberapa unit bisnis yang salah satunya adalah experience living culture, yaitu para pengunjung yang datang ke HS Silver itu bisa merasakan bagaimana sulitnya proses produksi perak. Bagaimana mereka bisa menghargai, para pengrajin perak yang sulit sekali mengerjakan kerajinan ini. Nah, itu adalah value yang ingin kami sampaikan kepada pengunjung. Kalau kita tidak menciptakan hal ini, jadi siapa lagi generasi penerus bangsa yang tau tentang kerajinan ini. Salah satu pengunjung membuat kerajinan perak, dibantu oleh perajin perak dari HS Silver. Foto Sururi. Lalu, beberapa waktu yang lalu kan, sektor-sektor industri mengalami dampak buruk akibat pandemi Covid-19. Apakah HS Silver sendiri mengalami kerugian juga dan bagaimana HS Silver mengatasi masalah tersebut? Berbicara tentang efek pandemi, karena pandemi ini tidak hanya skalanya nasional tapi global. Tentu saja semua sektor pasti terkena dampaknya, apalagi kami yang berada di ranah sektor tourism industry yang juga kena dampaknya. Satu di ekspor kami, karena beberapa buyer kami juga berada di area tourism. Kemudian yang kedua, di retail kami, karena beberapa regulasi pemerintah yang tidak diperbolehkan masuk di berbagai kota bahkan berbagai negara. Kemudian karena di Jogja ini terkenal dengan kota tourism-nya pada saat tourism turun pendapatan, kita juga ikutan turun pendapatan pada saat itu. Kami bahkan sempat tutup, karena kami terkena dampak bersyukur hanya sebentar, kemudian kami juga sempat merumahkan beberapa pengrajin yang dulunya banyak selain untuk menjaga social distance pada saat itu. Namun, saat ini kita sudah mulai merangkak naik kembali karena sudah ada perubahan regulasi yang cukup signifikan. Untuk upaya setelah pandemi, tentu saja kalau kita berbicara mengenai bisnis semua sektor bisnis itu melakukan era new normal. Beberapa hal yang harus kita ikuti regulasi ini tentu saja, satu social distance, kedua kebersihan beberapa hal yang harus kita lakukan di sini HS Silver bahkan tidak hanya kami di internal tapi juga untuk pengunjung. Upaya-upaya ini kita lakukan dari tren new normal. Kemudian kami juga harus pengenalan kembali upaya apa supaya kami tetap eksis, meskipun beberapa toko di area sini Kotagede sempat tutup lama kami bahkan berani buka, untuk memperlihatkan bahwa kami masih survive, bahwa kami masih eksis di dunia silver. Lalu, saat ini kami membuka peluang-peluang apa yang bisa menghasilkan di tempat kami, misalnya edu-tourism, lalu ada beberapa tidak hanya sektor jewelry-nya, tapi memperkenalkan story telling proses pembuatan produk HS Silver, sejarah Kotagede, upaya kami terhadap generasi muda dalam pelestarian budaya seperti kolaborasi dengan influencer, teman-teman model, teman-teman Puteri Indonesia yang kemudian bekerjasama dengan kami untuk mem-branding kembali bahwa kami masih eksis dan menjadi nomor satu di Kotagede. Para perajin perak di HS Silver. Foto Sururi. Kalau boleh tau, Mbak. Produk apa saja sih yang dijual di HS Silver? Kami tidak hanya menjual produksi dari perak, bahkan kami menjual beberapa bahan dari tembaga dan untuk melihat tren market saat ini, kita harus berbicara terkait dengan kreativitas sebuah produk, beberapa materi kita “kawinkan”, seperti leather-perak atau kulit dengan perak, gelang dari bahan nilon dengan perak, bahkan dengan clay atau tanah liat. Jadi kami mencoba mengawinkan beberapa produk yang tidak hanya bahan dasar dari perak, begitu. Kami juga melakukan inovasi tematik yang ada di sana. Dengan penjelasan, Mbak di atas. Lalu, apa sih harapan dari HS Silver mengenai industri kriya terutama perak ke depan? Oke, berbicara sebuah harapan dalam bisnis kita harus tetap optimis, apapun yang terjadi bahkan pasca pandemi ini. Dari kami HS Silver kami percaya, bahwa value yang kami usung di sini tidak hanya berbicara tentang komersial bisnis, tapi kita punya value dalam pelestarian budaya. Di mana value tersebut nilai optimisme kami, bahwa itu bisa kami perkenalkan ke masyarakat lebih luas. Kami yakin dengan nilai-nilai yang kami bawa, kami bisa berjuang di dalam bisnis ini industri kriya perak. Terima kasih, Mbak Artin Wuriyani atas waktunya. Bagi Sobat SJ yang ingin mengetahui produk-produk dari Harto Suharjo Silver, kamu bisa nih langsung berkunjung ke Jl. Mondorakan No 1, Prenggan, Kotagede, Daerah Istimewa Yogyakarta. Produk HS Silver mengutamakan kualitas dan kebersihan toko untuk membuat nyaman pengunjung. Foto Sururi. Jika Sobat mau melihat produk-produk secara online, tenang saja kamu juga bisa melihat situs resmi HS Silver dan bisa melihat katalog-katalog yang disediakan. Mengenai harganya, produk-produk HS Silver cukup beragam, mulai dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Tergantung, kamu memilih bahan dan ukuran yang kamu suka.
Banyakperajin yang gulung tikar dan beralih profesi. Jumlah wisatawan yang dahulu banyak datang untuk wisata belanja perak di Kotagede pun berkurang. Untuk itu diperlukan upaya untuk mengenalkan kembali seni kerajinan perak Kotagede kepada generasi muda. (Koperasi Produksi Pengusaha Perak Yogyakarta), shows that the number silver
Kerajinan perak di Kotagede muncul pada zaman Kerajaan Mataram Islam, yakni sekitar abad ke-16, dimulai ketika Panembahan Senopati memerintahkan warganya untuk membuat perhiasan dari emas dan perak. Lambat laun usaha daerah ini semakin terkenal dan menjadi salah satu ikon khas Kotagede. Untuk mengetahui lebih lanjut proses kerajinan perak di Kotagede, simak ulasan berikut ini. Lokasi dan Cara Menempuhnya Gapura HS Silver di Kotagede c Lina Auliani/TravelingyukBerlokasi di Jalan Mondorakan Nomor 1, Kotagede, Yogyakarta, Harto Suhardjo Silver atau yang sering dikenal HS Silver ini merupakan salah satu pelopor kerajinan perak di Kotagede. Nama HS Silver diambil dari inisial nama pemiliknya. Jika berangkat dari XT Square Yogyakarta, kamu harus melalui Jalan Pramuka untuk menuju Kotagede. Setelah menemukan perempatan lampu merah, langsung saja belok kiri ke arah Jalan Monodorokan. Cukup menempuh kurang lebih 300 meter, kamu akan menemukan HS Silver di seberang rumah makan Omah Dhuwur. Tempat Produksi Kerajinan Perak HS Silver c Lina Auliani/TravelingyukMenariknya, saya dipersilahkan untuk mengunjungi tempat pengrajin perak yang masih satu bangunan dengan toko perak HS Silver ini. Boleh dibilang, tempatnya bisa dikatakan bersih untuk sebuah tempat produksi. Saya dipandu oleh Pak Arfik selaku pegawai untuk mengelilingi tempat kerajinan perak ini. Pak Arfik yang Sedang Menjelaskan Poses Membuat Kerajinan Perak c Lina Auliani/Travelingyuk Tahap pertama yang harus dilakukan dalam membuat kerajinan perak adalah menimbang bahan baku yang akan digunakan. Tujuannya agar bisa menghasilkan perak yang mudah dibentuk dan kokoh. Jika sudah sesuai, biji perak dan tembaga dileburkan agar menjadi bentuk yang lebih solid. Perajin yang membuat perak menjadi bentuk kawat c Lina Auliani/Travelingyuk Mengapa membutuhkan tembaga? Karena jika keseluruhan bahan hanya menggunakan perak, kerangkanya akan sangat lunak sehingga sulit dibentuk. Semua proses yang dilakukan, seperti membentuk biji tembaga dan perak menjadi kawat yang pipih menggunakan alat manual yang digerakkan oleh tangan pengrajin di sini. Pengrajin yang sedang membuat kerangka liontin c Lina Auliani/Travelingyuk Tahap kedua dari proses kerajinan perak adalah mengambil batangan perak yang sudah jadi, kemudian dipipihkan membetuk kawat. Tujuannya agar mudah dibentuk oleh pengrajin menjadi aneka ragam perhiasan sesuai dengan kebutuhan penjualan. Kalian juga bisa memesan perhiasan dengan desin sesuai keinginan, lho. Kerajinan perak yang dibentuk dari kawat ini disebut Filigree. Membentuk kerangka perak untuk menjadi cincin c Lina Auliani/Travelingyuk Setelah kerangka sudah terbentuk seperti yang diinginkan, proses selanjutnya adalah melapisinya dengan bubuk perak. Bubuk ini ditempel kemudian dilebur menggunakan las karbit hingga melapisi seluruh kerangka kerajinan. Melapisi kerangka dengan bubuk perak c Lina Auliani/Travelingyuk Tahap terakhir adalah membersihkan kerajinan yang sudah selesai dibentuk. Proses ini cukup memakan waktu karena kerajinan direbus menggunakan tawas selama lima kali pengerjaan. Perebusan ini memakan waktu kurang lebih 15 menit dan diulangi selama 5 kali. Gunanya agar tidak ada material lain yang menempel di kerajinan perak. Proses merebus kerajinan dengan air tawas c Lina Auliani/Travelingyuk Setelah ditiriskan, kerajinan perak digosok dengan getah buah lerak agar lebih mengkilat. Lamanya penggosokan tergantung dari ukuran kerajinan perak ini. Buah ini terlebih dahulu digosok menggunakan sikat gigi sampai muncul getah yang berbusa. Kemudian getah ini menjadi pasta untuk menyikat kerajinan perak. Unik sekali ya manfaat getah buah lerak ini! Buah lerak untuk mengkilatkan kerajinan dari perak c Lina Auliani/Travelingyuk Setelah hasil karya selesai dibersihkan, selesailah proses kerajinan perak! Hiasan yang sudah jadi bisa langsung dipajang di etalase toko untuk dijual kepada wisatawan. Dipasarkan Secara Offline dan Online Salah satu contoh model kerajinan c Lina Auliani/Travelingyuk Karena banyaknya peminat, pemasaran kerajinan ini juga dilakukan secara online loh! Teman Traveler bisa melihatnya di website resmi HS Silver. Cara ini memudahkan peminat perhiasan perak dari seluruh penjuru kota menemukan kerajinan perak di HS Silver. Liontin salah satu kerajinan HS Silver c Lina Auliani/TravelingyukHarga yang ditawarkan untuk kerajinan ini bervariasi, mulai dari Rp sampai tak terhingga. Tidak hanya perhiasan, koleksi kerajinan untuk pajangan handmade juga ada loh! Menyediakan Workshop Kerajinan Perak Pintu Masuk Menuju Showroom HS SilverTertarik untuk membuat kerajinan dari perak juga? HS Silver juga menyediakan workshop bagi kamu yang berminat. Kursus singkat ini dilakukan selama 90 sampai 120 menit dan didampingi oleh instruktur yang berpengalaman. Selain itu kamu juga bisa membawa pulang hasil karya yang kamu kerjakan. Biaya untuk mengikuti workshop ini mulai dari Rp sampai Rp tergantung berapa banyak kamu membawa teman yang bergabung dan kerajinan apa yang kamu buat. Semakin banyak teman yang bergabung, semakin miring biayanya. Workshop ini dimulai dari pukul pagi sampai siang. Jika berminat, kamu harus menghubungi pihak HS Silver dari sehari sebelum ya! Advertisement Tags Indonesia kotagede proses kerajinan perak Wisata Yogyakarta
YOGYAKARTA Tak ada yang meragukan kemasyhuran Kotagede Yogyakarta dengan kerajinan peraknya. Sejak jaman VOC tempat ini telah melahirkan karya perak dan perajin yang terkenal hingga negeri seberang. Suara palu yang beradu dengan besi saat perajin menempa perak masih bisa di dengar di gang-gang sempit Kotagede hingga medio 1997. Kota Gede adalah salah satu tempat wisata jogja yang berada wilayah yang berada di pinggir kota Yogyakarta. Masyarakatnya kebanyakan bermata pencaharian sebagai pengerajin perak. Nama Kotagede sendiri berasal dari nama ibu kota lama yang awalnya adalah daerah kekuasaan kesultanan mataram. Kerajaan tersebut kemudian pecah menjadi Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Kota Kotagede merupakan asset budaya yang dimiliki pemerintah saat ini. Namun kendala pembangunan dihadapi dengan adanya permasalahan pembagian wilayah akibat perpecahan kerjaan Perak JogjaSuasana tradisional di Kota ini masih sangat terasa kental. Misalnya komplek masjid besar Mataram yang masih terlihat seperti berada di kompleks lingkunangan keraton, sebuah bedug yang memiliki ukuran besar menambah kekasan kota yang masih bernuansa tradisional Perak KotagedeKotagede adalah tempat yang sangat bagus bagi Anda untuk berkeliling diseputaran kota. Jika Anda suka berbelanja, Anda pasti akan sangat senang dengan kerjinan perak yang diproduksi oleh masyarkat di Kotagede. Begitu pula jika Anda berkeliling diseputaran kota, Anda akan mendapatkan bangunan – bangunan kuno besar yang dulunya dimiliki oleh saudagar kaya yang berasal dari Arab maupun Belanda. Jika Anda bisa masuk kedalam salah satu rumah tersebut, Anda akan berasa dikirim kembali ke masa Perak KotagedeKotagede kini terkenal sebagai salah satu pengerajin perak terbaik di Indonesia. Disana Anda bisa datang dan melihat langsung para pengerajin membuat perhiasan dari perak. Desain – desain yang dihasilkan sungguh mempesona. Banyak penyuka kerajinan perak dari luar negeri datang kesini dan kemudian bekerja sama dengan pengerajin perak perak Yogyakarta yang berasal dari Kotagede adalah kontras dan embos yang dihasilkan antara warna putih bersih dan warna hitam pada setiap bagian desain perhiasan yang dihasilkan. Mangkok teh, kalung, gelang dan berbagai macam perhiasan lain dari perak adalah menjadi ciri khas dan kecantikan perak yang dihasilkan. KetuaPengawas Koperasi Produksi Pengusaha Perak Yogyakarta (KP3Y) Priyo Salim di Kotagede, Yogyakarta, Minggu mengatakan peran koperasi tidak saja ikut mengembangkan produksi kerajinan perak namun diharapkan juga meningkatkan kesejahteran perajin perak di sentra tersebut.
- Berdiri pada warsa 1930-an, Masjid Perak menjadi tengara modernisme Islam yang berkembang di Kotagede. Di usianya hampir seabad, masjid tersebut menjadi saksi bisu pergumulan Islam dengan sinkretisme, kolonialisme, dan komunisme. Modernisme Islam di Kotagede tidak bisa dilepaskan dari Muhammadiyah, organisasi yang didirikan Ahmad Dahlan di Kampung Kauman, sekitar 6 kilometer dari kawasan itu. Di kemudian hari, sejumlah tokoh penting Muhammadiyah pun lahir dari kawasan budaya Masjid Perak Masjid Perak terletak di Jalan Mondorokan No. 51, Trunojayan, Prenggan, Kotagede, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada masa Revolusi, masjid ini menjadi saksi penggemblengan Laskar Hizbullah dan Sabilillah sebelum menuju medan perang melawan tentara Netherlands Indies Civil Administration NICA yang membonceng Sekutu. Ruang utama Masjid Perak berbentuk persegi dengan luas 100 meter persegi. Atapnya berbentuk limas yang disangga empat soko guru atau pilar utama. Jendela besar terdapat di dinding sebelah barat, tepatnya di kanan dan kiri mihrab atau pengimaman. Sementara itu, pintu utama terdapat di dinding bagian selatan dan timur. Para sejarawan berselisih paham tentang asal nama Masjid Perak. Sebagian berpendapat nama tersebut diambil dari kata “perak” yang merupakan komoditas utama para perajin dan pedagang yang menyokong biaya pembangunan masjid itu. Lain itu, warnanya yang putih juga berasosiasi dengan logam mulia itu dan dianggap lambang keikhlasan dan kesucian hati para pembangunnya. Sejarawan lain berpendapat bahwa nama Perak adalah kesalahan fonetik terhadap kata “firoq”, istilah Arab yang bermakna “perpisahan”. Maksudnya perpisahan dari ritual tertentu yang biasa dilakukan di Masjid Gedhe Mataram, masjid kuno tinggalan Panembahan Senopati. Masjid Perak memang dibangun dengan semangat purifikasi agama dari anasir kepercayaan dan praktik-praktik yang dinilai bertentangan dengan Islam. Karena lokasinya yang menyatu dengan komplek makam raja-raja, Masjid Gedhe Mataram kerap dijadikan tempat ritual oleh sebagian masyarakat yang percaya pada kekuatan ruh orang yang sudah meninggal. Kebiasaan inilah yang membuat kelompok muslim modernis sekaligus anggota Muhammadiyah merasa kurang nyaman dan mengalihkan kegiatannya ke Masjid Perak. Pembangunan Masjid Perak dimulai pada 1937 di atas tanah wakaf seluas 400 meter persegi. Pada 1939, proses pembangunan rampung dan setahun kemudian, tepatnya pada 12 Januari 1940, masjid sudah digunakan untuk beribadah. Donatur utama pembangunan masjid tersebut adalah Amir, Mudzakir, dan Muchsin. Mudzakir adalah putra Abdullah Rosyad, seorang abdi dalem pegawai kerajaan di bidang keagamaan. Mudzakir juga merupakan ayahanda Prof. Abdul Kahar Mudzakir, tokoh Muhammadiyah yang duduk sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI. Sementara itu, Muchsin adalah saudara ipar Mudzakir. Berkat kesuksesannya berbisnis barang-barang grosir, dia menjadi penyandang dana Abdul Kahar, keponakannya, sewaktu menempuh pendidikan tinggi di Universitas Kairo, Mesir. Kotagede dan Kerajinan Perak Kotagede adalah sebuah kecamatan yang terletak di selatan Yogyakarta. Kawaasan ini berdiri sekira 1532. Wilayah yang semula merupakan alas Mentaok ini dibuka sebagai pemukiman oleh Ki Ageng Pemanahan atas titah Sultan Adiwijaya, penguasa Pajang. Putra Ki Ageng Pemanahan, yaitu Raden Ngabehi Saloring Pasar, kemudian mendirikan Kesultanan Mataram Islam dengan Kotagede sebagai ibu kotanya. Saloring Pasar selanjutnya dikenal dengan gelar Panembahan Senopati. Meski ibu kota Mataram pernah pindah ke Kerta, Plered, Kartasura, dan Surakarta, Kotagede tetap menjadi kota yang penting. Kiwari, wilayah ini dikenal dengan banyaknya tinggalan sejarah, di antaranya Masjid Gedhe Mataram, makam para pendiri kerajaan, pasar tradisional, rumah-rumah kuno, dan reruntuhan benteng. Perdagangan adalah pekerjaan yang paling banyak ditekuni masyarakat Kotagede. Seturut Van Mook dalam “Kutha Gedhe” 1986, hlm. 3, wilayah ini sejak lama menjadi sentra produk-produk kerajinan. Banyak warganya yang berprofesi sebagai perajin emas, perak, kuningan, tanduk binatang, kulit, dan kayu. Di antara semua itu, kerajinan perak merupakan bidang yang paling banyak ditekuni masyarakat Kotagede, bahkan sejak zaman Mataram Islam. Pada warsa 1930-an tatkala krisis ekonomi alias Malaise menghantam Hindia Belanda, kerajinan perak di Kotagede justru mencapai puncak kejayaannya. Dalam satu tahun, tercatat kilogram perak diproses oleh sekitar 70 perusahaan. Aktivitas produksi itu berhasil menyerap setidaknya tenaga kerja. Buruh yang tidak terampil mendapat upah 0,35 gulden sehari, sedangkan buruh yang sudah terampil menerima upah 1,50 gulden sehari. Sebagai perbandingan, harga beras saat itu hanya 0,05 gulden per kilogram. Pada masa Kolonial, Kotagede disebut-sebut sebagai pusat kerajinan perak terbesar di Hindia Belanda. Meski demikian, bahan baku kerajinan tersebut didatangkan dari luar daerah, khususnya Cikotok, Jawa Barat. Sebagai pusat kerajinan berskala besar, Kotagede mendapat perhatian lebih dari Pemerintah Kolonial. Pada 1933, dengan maksud memberi pembinaan terhadap para pengrajin perak, Pemerintah Hindia Belanda dan pihak Keraton Yogyakarta mendirikan Pakaryan Ngayogyakarta. Setiap tahun, lembaga ini memberikan subsidi kepada para perajin di Kotagede hingga 1500 gulden. Lembaga ini juga mengadakan kursus atau pelatihan, mendirikan ruang pameran, serta mencari jalan bagi para perajin dan pengusaha lokal untuk memperluas jaringan pemasaran di dalam negeri dan menembus pasar internasional. Untuk tujuan yang sama, didirikan pula sekolah kriya yang bernama Sedyaning Piwoelang Angesti Boedi pada 1939. Sekolah tersebut didirikan oleh Java Instituut, sebuah lembaga kebudayaan yang dibentuk untuk melestarikan kebudayaan masyarakat Jawa, Madura, Bali, dan Lombok. Ketika Muhammadiyah semakin berkembang di Kotagede, para pedagang dan perajin perak banyak yang turut bergabung. Berbagai aktivitas organisasi pun kemudian melibatkan peran serta mereka, tak terkecuali dalam pembangunan Masjid Perak. Infografik Mozaik Masjid Perak Kotagede. Motor Perubahan Hanya butuh waktu setengah jam berkendara dari Kauman, kampung halaman Ahmad Dahlan, untuk sampai di Kotagede. Meski begitu, Muhammadiyah baru berkembang pesat di kawasan tersebut pada warsa 1920-an. Seturut Mitsuo Nakamura dalam Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin 1983, hlm. 15, Kotagede merupakan wilayah terjadinya transformasi sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang melibatkan Muhammadiyah sebagai salah satu aktor penggeraknya. Menariknya, transformasi itu bukan dipengaruhi faktor eksternal atau sebab nilai-nilai yang diimpor dari luar, melainkan sesuatu yang tumbuh dari dalam masyarakat Kotagede sendiri dengan subkulturnya yang majemuk, yaitu santri, priyayi, dan abangan. Pada masa awal perkembangannya di Kotagede, Muhammadiyah membuka sejumlah lembaga pendidikan, di antaranya Volkschool Sekolah Rakyat dan Holland lnlandsche Cursus Kursus Bumiputra Berbahasa Belanda. Pada waktu itu, masyarakat Kotagede terbagi menjadi empat golongan. Mereka adalah golongan pegawai kerajaan abdi dalem, saudagar batu permata dan logam mulia, pedagang kecil seperti penjual makanan atau kebutuhan sehari-hari, serta petani dan buruh. Sebelum diterima secara luas oleh masyarakat Kotagede, Muhammadiyah mula-mula diminati oleh golongan pedagang kecil. Menariknya, sebagian dari golongan ini juga kepincut dengan rival ideologis Muhammadiyah, yaitu PKI. Maka tak berlebihan Kotagede saat itu disebut daerah “merah”. Pada 1924, PKI bahkan berani mengadakan kongres di sana. PKI menjadi kekuatan yang diperhitungkan di Kotagede karena peran anggota Sarekat Islam SI Cabang Surakarta. Organisasi pimpinan Cokroaminoto itu terpecah menjadi dua faksi, yakni SI Putih yang berhaluan nasional-religius dan SI Merah yang berhaluan sosialis-komunis. Tatkala PKI menjalankan program-programnya di Kotagede usai kemerdekaan, Muhammadiyah mencoba menghambat. Sanggar Bulus Kuning, misalnya, didirikan untuk mengimbangi pengaruh Lembaga Kebudayaan Rakyat Lekra yang berafiliasi dengan PKI. Pemuda Muhammadiyah dan Nasyiatul Aisyiyah pun tak ketinggalan bersaing dengan Pemuda Rakyat dan Gerakan Wanita Indonesia Gerwani. Seturut Mitsuo Nakamura, terdapat empat paradoks gerakan Muhammadiyah di Kotagede. Pertama, sebagai gerakan yang ingin memurnikan praktik keberislaman atau mengembalikannya pada ortodoksi Islam, Muhammadiyah mendapat dukungan masyarakat yang memiliki akar heterodoksi yang kuat. Kedua, perubahan yang dimotori Muhammadiyah itu mula-mula mendapat dukungan dari kelompok pedagang dan perajin, bukan priyayi atau petani. Pedagang dan perajin adalah kelompok sosial yang tidak umum dalam masyarakat Jawa kala itu. Ketiga, sebelum masuknya Muhammadiyah ke Kotagede, kelompok pedagang dan perajin bukan merupakan kalangan santri. Keempat, hubungan antara gerakan modernisme Islam ala Muhammadiyah dan kegiatan ekonomi tidak selalu beriringan. - Sosial Budaya Kontributor Firdaus AgungPenulis Firdaus AgungEditor Fadrik Aziz Firdausi
Pusatkerajinan tangan perak Kotagede juga sering di sebut sebagai Jewellery of Jogja, tak hanya sebagai pusat oleh-oleh perhiasan di Yogyakarta, kini Kotagede menjelma menjadi salah satu obyek wisata yang ada di kota Jogja, banyak turis manca negara yang berdatangan mencari perhiasan unik, atau sekedar ingin tau dan mengabadikan moment di sini.
F1YaNW.
  • io0f317k78.pages.dev/195
  • io0f317k78.pages.dev/2
  • io0f317k78.pages.dev/97
  • io0f317k78.pages.dev/291
  • io0f317k78.pages.dev/314
  • io0f317k78.pages.dev/29
  • io0f317k78.pages.dev/389
  • io0f317k78.pages.dev/115
  • io0f317k78.pages.dev/87
  • perajin perak di kotagede yogyakarta sedang